Rabu, 18 Mei 2011

KRISIS NASIONAL DAN ARAH REFORMASI MENUJU PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

      
Krisis moneter dan ekonomi yang berlangsung setahun lebih telah memicu munculnya krisis politik, sosial, budaya, dan mulai mengarah ke krisis total kehidupan bangsa. Artinya, nuansa krisis terasa tealh menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan. Tidak terelakkan dalam kondisi demikian sumber daya manusia sebagai salah satu penyangga kelangsungan kehidupan bangsa di masa datang terpuruk dalam kondisi cukup memprihatinkan. Tidak hanya kualitas fisik, kualitas sosial pun mengalami kemerosotan tajam. Hal ini dapat diamati dengan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan absolut serta munculnya berbagai gejolak sosial, seperti amuk masa, penjarahan, pembunuhan, perkosaan, dan tindakan keji diluar perikemanusiaan yang terjadi silih berganti di beberapa daerah. Berbagai kerusuhan dan tindakan kriminal itu menyadarkan kita bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini sebagai unsur pendukung utama dalam membentuk kualitas sumber daya manusia tampaknya begitu gampang dilecehkan dan direndahkan tanpa ada perasaan berdosa. Bila situasi ini berlanjut terus sangat mungkin dapat mengancam eksistensi kehidupan bangsa di masa datang.

Mengapa kondisi sumber daya manusia saat ini diselimuti suasana memprihatinkan? Cukup sulit merumuskan determinan secara akurat karena faktor internal (personaliti, sikap, mental) dan eksternal (ekonomi, politik, sosial dan budaya) secara bersama-sama mempengaruhi keberadaan SDM. Satu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa krisis ekonomi turut memperburuk kondisi SDM yang selama ini kualitasnya belum berkembang dengan baik, Seperti terjadinya Kerentanan SDM. Kerentanan SDM tidak dapat dilepaskan dari penerapan strategi pembangunan masa orde baru kurang berhasil dalam meningkatkan kualitas SDM. Pendekatan pembangunan ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanan/politik cenderung mengorbankan dan melalaikan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Demi stabilitas untuk memicu pertumbuhan ekonomi, hak-hak azasi manusia yang berperan sebagai pilar penentu dalam dalam pengembangan dipasung dan dibelenggu dengan semena-mena. Acapkali dengan dalih atas nama pembangunan, penguasa bertindak kasar yang diwarnai dengan kekerasan (tidak manusiawi) terhadap masyarakat dan cenderung tidak mengindahkan norma hukum dan sosial. Disadari atau tidak, pendekatan demikian dapat menghambat proses peningkatan kulaitas SDM. Menghadapi tantangan masa depan, strategi pengembangan SDM perlu diubah dengan semangat reformasi. Salah satu perubahan yang perlu dilakukan adalah mengubah pardigma pembangunan, utamanya trilogi pembangunan, bila penekanan berlebihan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas (politik dan keamanan) diubah total. Paradigma pembangunan seyogyanya diarahkan pada kepentingan pengembangan dan pemberdayaan ekonomi daerah (komunitas) dengan tekanan pada menumbuhkan ekonomi skala kecil dan menengah, perlindungan hak-hak azasi manusia (demokratisasi), serta menegakkan keadilan sosial (pemerataan hasil pembangunan). Pada dasarnya, paradigma pembangunan diupayakan mengandung muatan strategi yang dapat membuka (memfalisitasi) dan menciptakan berbagai peluang sehingga SDM mempunyai ruang gerak dan alternatif pilihan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilki.

Sekilas Potret dan Prospek Sumber Daya Manusia

Kondisi SDM saat ini dilihat dari kualitas fisik maupun sosial sangat memprihatinkan. Data hasil survei yang dapat menceminkan kondisi mutakhir belum tersedia untuk dipakai menyusun indikator kuantitatif. Namun beberapa prediksi menunjukkan bahwa sebagian besar SDM mengalami penurunan kualitas hidup yang diikuti dengan penurunan kualitas fisik dan sosial. Indikasi rendahnya kualitas SDM dapat dicermati dari kesulitan angkatan kerja memasuki pasar kerja yang dicerminkan dari tingginya angka pengangguran terbuka. Sebelum krisis berlangsung, tatkala pertumbuhan ekonomi masih sekitar 7 % angka pengangguran terbuka tenaga kerja terdidik di perkotaan sudah mencapai angka 18,5 % (Manning,1997). Angka pengangguran terbuka semakin meningkat tajam dan melanda hampir seluruh lapisan masyarakat ketika gelombang PHK akibat kebakaran hutan, perusahaan mengurangi produksi dan gulung tikar karena krisis moneter, dan kebijakan melikuidasi bank bermasalah. Saat ini, pengangguran terbuka total diperkirakan mencapai angka 17,1 persen atau sekitar  15,4 juta (Johnson,1997:39). Meskipun sebagian pekerja terkena PHK terpaksa kembali kedaerah asal (pedesaan), tetapi sebagian besar pengangguran terbuka bertahan dipusat-pusat industri (seperti Jabotabek) atau mengadu nasib di perkotaan. Pekerja yang kembali ke desa tidak mustahil menambah angka setengah pengangguran karena kemungkinan mendapat kerja penuh ukup sulit dipedesaan. Angka setengah pengangguran sebelum krisis sekitar 35 % dan proporsi terbesar berada di pedesaan (Johnson,1997:35). Setelah krisis ekonomi, angka setengah pengangguran diperkirakan mencapai 40-50 juta atau sekitar 50 %. masalah SDM ini semakin runyam karena setelah krisis ribuan pekerja migran yang selama ini bekerja di Malaysia, Singapura dan Saudi Arabia pulang ke daerah asal.

Dalam keadaan diliputi ketidakpastian mata pencaharian, jelas penghasilan masyarakat menurun tajam. Akibat langsung dari keadaan itu adalah menurunnya daya beli masyarakat. Tidak dapat dielakkan kemampuan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup, terutama pemenuhan gizi keluarga, tentu semakin menurun apalagi harga sembako mengalami kenaikkan. Salah satu dampak yang sudah muncul ke permukaan adalah meningkatnya anak balita kekurangan gizi. Di perkirakan, jumlah anak penderita kekurangan gizi mencapai angka 50 % dari 23 juta jumlah anak balita. Kenaikan harga obay dan biaya pengobatan turut memperburuk kesehatan SDM. Penurunan kualitas SDM semakin tampak nyata seiring dengan menaiknya angka kemiskinan absolut. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan diperkirakan menaik tajam dari sekitar 12 juta di awal tahun 1997 menjadi sekitar 80 juta dipertengahan 1998. angka kemiskinan di pedesaan saat ini telah mencapai 53 % dan di perkotaan sekitar 39 %. bahkan, ILO memperkirakan 2 dari 3 penduduk Indonesia tergolong miskin. Kenaikan tajam angka kemiskinan ini mencerminkan bahwa selam orde baru berkuasa upaya penanggulangan kemiskinan hanya mampu mengangkat sebagian penduduk miskin sedikit di atas garis kemiskinan. Begitu terjadi krisis ekonomi dan gejolak sosial mereka terpuruk dan hidup di bawah garis kemiskinan lagi. Kerentanan terhadap berbagai gejolak ekonomi dan sosial mengisyaratkan bahwa upaya penaggulangan kemiskinan belum sepenuhnya berhasil menuntaskan masalah kemiskinan seperti yang selam ini digembar-gemborkan para elit penguasa orde baru. Muncul kesan pernyataan bahwa Indonesia sebagi negara menuju bebas dai kemiskinan, seperti diucapkan Bapak Pembangunan (Soeharto) beberapa waktu sebelum krisis ekonomi adalah isapan jempol belaka. Angka-angka kemiskinan itu masih bisa diperdebatkan, tetapi indikasi penurunan kualitas hidup SDM agaknya sulit untuk dibantah, setidaknya indikasi ini diperkuat dengan semakin besarnya jumlah anak-anak usia sekolah tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka karena keluarga tidak sanggup membiayai akibat tekanan kemiskinan. Menurut menteri Pendidikan (Kompas, Kamis 30 juli 1998:10), jumlah anak tidak melanjutkan sekolah mencapai angka 4,5 juta yang mendapat bantuan pemerintah hanya sekitar 1,6 juta. Kondisi pendidikan dasar seperti ini tentunya amat berpengaruh pada kualitas SDM di masa datang. Mampukah mereka bersaing ketika memasuki era perdagangan bebas nanti?

Pandangan pesimis mungkin tidak begitu saja dapat dibantah dan ditolk mengingat kualitas sosial SDM juga mengalami penurunan cukup berarti. Gejala ini dapat kita cermati dari berbagai gejolak sosial yang terjadi belakangan ini. Budaya kekerasan mewarnai tatanan kehidupan. Nilai-nilai kemanusiaan dan moral dikesampingkan dan berubah menuju ke arah anarkis dengan mengutamakan kekerasan, di tandai dengan mudah mengamuk, merusak, membakar, merampok, membunuh, menjarah, memperkosa, dan menyakiti orang lain. Hampir setiap hari, media massa menyajikan laporan kasus penodongan dan perampokan dengan pembunuhan sadis,penjarahan, perusakan, dan penganiayaan. Tindakan itu tidak hanya dilakukan oleh perorangan, tetapi melibatkan ribuan orang. Bahkan, oknum penegak hukum yang seharusnya melindungi dan menjaga keamanan masyarakat ditengarai terlibat dalam penculikan, penyiksaan dan pembunuhan tidak berprikemanusiaan. Kondisi psikologis masyarakat akibat tekanan ketakutan dan trauma ditambah kegamangan serta ketidakpastiaan dalam menatap kelansungan kehidupan dan masa depan secara langsung dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Keputusasaan dan frustasi agaknya telah menyelinap dan menyertai kehidupan keseharian masyarakat. Tidak mustahil, kepercayaan diri melemah diikuti dengan menurunnya motivasi, daya kreativitas, dan etos kerja serta sikap kerja yang amat diperlukan dalam meningkatkan daya saing. Bila ini dibiarkan berlanjut, bisa jadi SDM kita tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam memperebutkan peluang-peluang yang tercipta dalam era perdagangan bebas.

Kilas Balik Paradigma Pembangunan Orde Baru

Pada masa orde baru, pengembangan SDM diletakkan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan ekonomi. SDM dipandang sebagai salah satu unsur pendukung pembangunan ekonomi, khususnya dalam pengembangan teknologi untuk meningkatkan produktivitas (Muqtada dan Hildeman, 1993; Kartasasmita, 1996: 263-284). diyakini, pembangunan ekonomi perlu dukungan teknologi, produktivitas sebagai salah satu unsur pemicu pembangunan ekonomi sulit untuk ditingkatkan. Teknologi dapat dikembangkan bila SDM menjalankan pikiran itu, SDM perlu ditingkatkan bila ingin meningkatkan pembangunan ekonomi.

Bersandar pada premis itu, maka diperlukan dan untuk pengembangan SDM. Oleh karena itu, pembangunan diprioritaskan untuk dapat melakukan akumulasi modal. Salah satu strategi untuk meningkatkan pertumbuhan adalah menerapkan trilogi pembangunan (pertumbuhan ekonomi, stabilitas dan pemerataan) sebagai azas dan strategi dasar dalam pembangunan ekonomi. Pendekatan perencanaan pembangunan dengan azas trilogi pembangunan menjadi acuan utama kebijakan pembangunan selama kurang lebih 50 tahun.

Dilihat dari indikator makro, pertumbuhan ekonomi dapat dipicu dan dipertahankan mencapai angka rata-rata 7 % pertahun. Gema kekaguman dan kebanggaan sering terdengar dan mengatakan bahwa keberhasilan itu sebagai suatu keajaiban. Pujian dari berbagai pihak luar dan badan internasional silih berganti. Apalagi dari angka-angka kuantitatif yang diterbitkan oleh pemerintah dan bank dunia menunjukkan bahwa perubahan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan cukup mengesankan. Sejalan dengan itu, dengan dukungan bantuan (hutang) dari berbagai badan internasional , prasarana dan sarana fisik untuk menunjang kegiatan produksi, baik di pedesaan dan perkotaan, juga mengalami peningkatan cukup berarti.

Dukungan fasilitas yang disediakan pemerintah dengan penerapan stabilitas politik/keamanan dapat menarik minat dan menjamin rasa aman para pemilik modal untuk menginvestasikan modal mereka di Indonesia. Dari tahun ke tahun setelah investor banyak datang menanam modal, berbagai peraturan bersifat larangan dan pembatasan kegiatan sosial politik untuk menjaga stabilitas diterapkan. Para pekerja dan buruh pabrik diawasi dengan ketat agar tidak melakukan unjuk rasa, mogok kerja, dan melakukan protes walaupun upah, jaminan sosial, dan kondisi kerja sangat rendah. Meskipun terselubung, upah buruh murah dipakai sebagai salah satu andalan untuk menarik investor datang menanam modal. Para petani dengan penerapan politik massa mengambang tidak punya posisi tawar-menawar sehingga mereka pasrah dengan keadaan kehidupan walaupun dihimpit kemiskinan. Sifat represif yang dilakukan para pengusaha yang bekerja sama dengan pihak keamanan telah menekan kemungkinan munculnya gejolak masyarakat untuk menuntut hak-hak mereka. Hak-hak masyarakat untuk memperjuangkan perbaikan kehidupan senantiasa dibatasi dan dipasung melalui cara-cara yang cenderung tidak manusiawi, seperti teror, intimidasi, diculik, atau disiksa. Hampir tiga dasawarsa pendekatan keamanan ini cukup berhasil menjaga stabilitas dan dapat memicu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Setelah itu, muncul kesadaran bahwa keberhasilan memicu pertumbuhan ekonomi itu tidak dengan sendirinya dapat menetes ke bawah sehingga pemerataan hasil pembangunan belum dapat dicapai. Pemerataan hasil pembangunan yang diharapkan dapat dicapai melalui intervensi pemerintah dalam berbagai program bantuan dan inpres presiden belum dapat membantu kelancaran proses pendistribusian hasil pembanguanan. Program pemerataan pembangunan cenderung dinikmati oleh golingan mampu, terutama elit atau kelas menengah yang dekat dengan pengusaha. Diperkirakan hanya sekitar 20 % yang dapat menikmati hasil pemabangunan. Bersama dengan itu, gejala kesenjangan sosial-ekonomi semakin tampak nyata dalam tata kehidupan. Akumulasi modal terjadi. Tetapi hanya pada segelintir orang. Kemampuan dan dukungan kemudahan akses karena kerja sama dengan penguasa menyebabkan para pengusaha besar (konglomerat) dapat dengan mudah melipatgandakan modal mereka. Proses monopoli dan pengembangan sistem kartel mempercepat proses akumulasi modal para pengusaha. Berbagai bidang usaha mereka kuasai,tanpa disadari telah membatasi kesempatan golongan miskin untuk turut serta menikmati hasil pembangunan. Sebagian besar masyarakat masih dililit kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Akibatnya,upaya peningkatan kualitas manusia terhambat dan menganggu pengembangan SDM. 

Kekurang berhasilan dalam upaya pengembangan kualitas SDM menyebabkan teknologi yang amat diperlukan dalam mendukung pembangunan ekonomi tidak berkembang. Para pengusah dan investor dalam negeri lebih senang membeli (impor) teknologi karena tidak sanggup mengembangkan sendiri. Para investor asing membawa teknologi dan mengembangkannya untuk kepentingan pabrik mereka, tetapi enggan dan kurang ikhlas untuk melakukan alih teknologi walaupun ada kesempatan kesediaan untuk melakukan itu (Chalmers,1996). Di samping itu, SDM kurang bergiat untuk melakukan penyerapan teknologi karena keterbatasan kemampuan dan keterampilan. Meskipun selama 30 tahun ekonomi mengalami pertumbuhan cukup pesat, tetapi pengembangan teknologi amat terbatas. Hal ini dikarenakan SDM tidak mampu mengembangkan teknologi. Ketidakmampuan tersebut disebabkan disamping karena kualitas rendah juga kurang ada dukungan modal dan moral dari pemerintah.

Strategi pembangunan yang bertumpu pada azas trilogi pembangunan tampak tidak hanya gagal dalam memeratakan hasil pembangunan, tetapi kurang berhasil dalam memicu pengembangan teknologi karena SDM tidak mengalami pengembangan seperti yang di harapkan.

Arah Reformasi
Reformasi perlu di arahkan untuk mencapai sasaran pengembangan SDM dengan berpusat pada pengembangan manusia untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi. Artinya, pembangunan bukan sekedar meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional (GNP), tetapi lebih pada upaya menigkatkan kualitas manusia agar dapat meningkatkan partisipasi secara nyata dalam berbagai aktivitas kehidupan untuk mendorong terciptanya kegiatan produktif bernilai tambah tinggi. Untuk mencapai sasaran itu, paradigma pembangunan yang selam ini bersifat planned development perlu diubah menuju etno development (Somjee,1991:xviii). Etno development menekankan pembangunan sebagai upaya untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dengan pengembangan kemampuan dan potensi masyarakat sendiri. Perubahan itu menuntut pembangunan :
1.      Berbasis pada kekuatan komunitas yang bersifat bottom up dari pada top down.
2.      Tidak hanya berpusat pada birokrasi dan penguasa yang cenderung kurang demokratis, tetapi berpusat pada kekuatan dan kedaulatan rakyat yang lebih demokratis.
3.      Tidak lagi memihak pada kepentingan pengusaha dan penguasa dan hanya dinikmati sekelompok orang, tetapi memihak pada kepentingan orang banyak, terutama si miskin dan si lemah dan mengutamakan keadilan dan pemerataan.

Salah satu upaya yang dapat dikembangkan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan adalah kegiatan usaha-usaha berbasis komunitas. Karena dengan usaha ini dapat memicu kesejahteraan yang berbasis pada kekuatan ekonomi masyarakat, sedangkan di sisi lain dapat membantu peningkatan kualitas SDM. Kedua hal itu dapat berjalan bersamaan karena usaha berbasis komunitas dapat berperan antara lain:
1.      mengembangkan potensi dan kemampuan sesuai dengan pengetahuan yang telah berkembang dalam masyarakat sehingga dapat merangsang tumbuhnya kepercayaan, kemandirian dan kerjasama.
2.      Membantu pengembangan teknologi lokal sehingga dapat mengurangi ketergantungan teknologi.
3.      Menciptakan wahana untuk latihan peningkatan keterampilan SDM.
4.      Menciptakan peluang kerja, terutama non-farm yang bersifat padat karya di pedesaan sehingga dapat menarik kelebihan angkatan kerja di sektor pertanian. Pada gilirannya, hal ini dapat mengurangi setengah pengangguran di sektor pertanian.
5.      Memperkuat basis ekonomi pedesaan karena mempunyai keterkaitan dengan sektor pertanian dan sektor lain.
6.      Mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah, terutama desa dan kota sehingga dapat mengurangi arus migrasi ke kota.
Selain itu, pendekatan itu mempunyai kemampuan untuk memunculkan komunitas belajar, suatu proses yang cukup penting dalam upaya peningkatan kualitas SDM. Komunitas di dorong terus-menerus untuk belajar secara aktif melalui pengalaman empirik dan aksi sehingga dapat membangun kapasitas komunitas. Pada tahap tertentu komunitas belajar dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan karena akan tercipta kemandirian sebab komunitas mempunyai kemampuan untuk memahami, mengidentifikasi, memformulasikan masalah mereka sehingga memilki aspirasi dan visi. Kemampuan merencana, mengelola, dan memonitor serta mengambil keputusan yang berkaitan dengan pilihan intervensi dan pengembangan kreativitas (teknolog) juga akan tercipta pada tiap komunitas. Komunitas aktif ini dapat memunculkan sikap kerja yang amat di butuhkan untuk meningkatkan daya saing di masa datang.
Mengubah pendekatan itu tidak semudah membalik telapak tanggan. Proses perubahan itu dapat berjalan bila komunitas di bebaskan dari berbagai keadaan atau struktur yang telah menekan dan menghambat pengembangan. Konsekuensi logis adalah intervensi berlebihan dari pemerintah dan pihak eksternal yang dapat menimbulkan perasaan tertekan, ketakutan, ancaman, bahkan penindasan dan eksploitasi perlu di hilangkan. Pihak pemerintah dan eksternal hanya berperan sebagai fasilitator untuk membantu dan menciptakan kemudahan-kemudahan serta akses bagi komunitas untuk mengembangkan usaha-usaha mereka. Agenda penting yang perlu dilaksanakan agar pendekatan itu dapat terwujud adalah merombak struktur politik (menuju ke arah demokratis) dan azas pembangunan ekonomi, utamanya trilogi pembangunan yang merupakan warisan usang orde baru, tanpa upaya itu, semua akan sia-sia dan menjadi impian serta khayalan belaka.

Pengembangan SDM bukan hanya masalah teknis yang berurusan dengan peningkatan produksi dan menghasilkan barang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi saja, melainkan sebagai upaya untuk mengembangkan daya kreatif dan inisiatif manusia. Pengembangan SDM tidak hanya cukup berurusan dengan keterampilan melalui sistem pendidikan tetapi perlu berurusan dengan lingkungan politik, budaya, ekonomi yang mampu menumbuhkembangkan daya kreativitas masyarakat. Untuk mencapai itu, maka strategi pembangunan perlu di arahkan untuk menciptakan rasa aman dan bebas dari ancaman dan ketakutan, dan bebas dari tekanan dan seterusnya. Hanya dengan keadaan lingkungan kondusif seperti itu akan merangsang munculnya daya kreativitas dan inisiatif sebagai unsur penting untuk menghasilkan SDM berkualitas.

Sumber :
- Tadjudin Noer Effendi,Pembangunan, krisis, dan Arah Reformasi,Surakarta,Muhammadiyah University Press,2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar