Jumat, 15 April 2011

PEMBANGUNAN DAN KESENJANGAN SOSIAL


Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di beberapa daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan pembangunan selama ini. Kesenjangan sosial diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang usaha, dan kerja. Bisa berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran pilitik, pemenuhan pengembangan karir, dll.

Kesenjangan Sosial : Penjelasan Teoritis

    Mengapa terjadi kesenjangan sosial? Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang-kurangnya ada dua faktor yang dapat menghambat. Pertama, faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas sumber daya manusia karena tingkat pedidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai tertentu masyarakat yang tidak terintegrasi dengan masyarakat luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupen masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena masyarakat itu terkukung dalam kebudayaan kemiskinan.
    Kedua, faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan) sehingga dapat membatasi memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas SDM, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan struktural. Alfian,Melly g. Tan dan Selo Sumarjan (1980:5) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural dapat meliputi kekurangan fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi, kekurangan fasilitas untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang kerja dan kekurangan perlindungan hukum.
    Faktor mana yang paling dominan menyebabkan kesenjangan sosial. Kendati faktor internal dan kebudayaan (kebudayaan kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kesenjangan sosial, tetapi tidak sepenuhnya menentukan. Penjelasan itu setidaknya mengandung dua kelemahan. Pertama, sangat normatif dan mengandung kecurigaan dan prasangka buruk pada orang miskin serta mengesampingkan norma-norma yang ada (Baker,1980:6). Kedua, penjelasan itu cenderung membesar-besarkan kemapanan kemiskinan. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kaum miskin senantiasa bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan mempunyai motivasi untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mereka mampu menciptakan peluang kerja sendiri dan senantiasa bekerja keras untuk memenuhi tuntutan kehidupan mereka. Setiap saat orang miskin berusaha memperbaiki kehidupan dengan cara beralih dari satu usaha ke usaha lain dan tidak mengenal putus asa (Sethuraman,1981: Steele,1985).
    Jika demikian halnya, maka ihwal kesenjangan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi orang miskin “Jalan ke atas sering kali dirintangi”, sedang “Jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”. Dengan kata lain, gejala kesenjangan sosial dan kemapanan kemiskinan lebih disebabkan adanya himpitan struktural. Perlu dipertanyakan mengapa masyarakat dan kaum miskin pasrah dengan keadaan itu? Ketidakberdayaan (politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah ditaklukkan dan dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha. Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha.

Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Sosial

    Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa kebijakan yang diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengelurkan UU Penanaman Modal Asing dengan memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan dan menarik kepada investor dibanding dengan kebijakan sebelumnya. Kebijakan ini berlangsung terus hingga kini. Kegiatan industri meningkat tajam dan sumbangan pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9 % pada tahun 1970 menjadi sekitar 17 % pada tahun 1992 (Booth dan McCawley, 1986:82) dan Sjahrir 1993:16). pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan. Pendek kata, selama Orde Baru perekonomian mengalami kemajuan pesat. Namun, bersamaan dengan itu ketimpangan sosial meningkat. Kebijakan itu hanya dapat dinikmati oleh segolongan atau sekelompok kecil masyarakat, terutama mereka yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi, sedangkan sebagian besar masyarakat yang kurang atau tidak mempunyai akses sama sekali kurang memperoleh atau hanya memperoleh sedikit manfaat. Bahkan, ada masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat sama sekali.
    Menurut Dawam Rahardjo (1984:177), sejak diterapkan kebijakan pintu terbuka banyak industri tradisional, terutama tekstil, gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan industri modern. Diperkirakan pada tahun 1969-1970, jumlah industri tekstil tradisional ada sekitar 324.000 perusahaan. Pada tahun 1976-1977 hanya tersisa 60.000 perusahaan. Berarti sekitar 60 % tidak dapat beroperasi lagi karena tidak mampu bersaing dengan industri modern. Kehancuran industri tradisional tidak hanya melanda industri tekstil, tetapi juga industri minuman tradisional. Banyak industri minuman tradisional bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan indutri minuman modern, seperti Coca-Cola, Seven Up, dll. Demikian juga, industri kecil pedesaan yang memproduksi alat rumah tangga yang memanfaatkan bahan baku tanah dan bambu banyak gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan industri modern plastik (White, 1986). beberapa industri ada yang mampu bertahan, walaupun dalam kondisi memprihatinkan. Kondisi sosial sarat dengan penderitaan, pengusaha menjalankan usha hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan tidak punya masa depan.
    Menyadari keadaan itu pada tahun 1987 (Pelita III) keluar kebijakan untuk membantu pengembangan industri kecil dan rumah tangga. Kebijakan bersifat lintas sektoral dengan melibatkan beberapa instansi. Beberapa program dikembangkan antara lain, mempermudah perizinan, penyediaan fasilitas kredit (KIK, KMKP, KCK, KUPEDES, dll), pengadaan bahan baku, pengembangan program Bapak Angkat dan kemudahan pemasaran melalui Kepres 14 dan 14 A. dari segi program dapat dikatakan cukup bagus, tetapi tanpa disadari telah mempertajam kesenjangan sosial. Menurut laporan Bernas (1944) hampir 80 % program kredit dinikmati oleh pengusaha besar, sedang  pengusaha lemah hanya menikmati sekitar 20 %. program Bapak Angkat dalam penerapan ternyata cenderung membebani dan merugikan pengusaha kecil ketimbang membantu mereka. Prosedur perizinan ternyata lebih banyak menimbulkan masalah karena birokrasi cenderung menguntungkan pengusaha besar. Prosedur lebih banyak menimbulkan rent seeking, yakni oknum mencari keuntungan-keuntungan yang tidak wajar, daripada membantu pengusaha lemah. Menyadari kelemahan itu belakangan ini muncul ide dan himbauan dari pemerintah dan presiden gar pengusaha kuat (konglomerat) membantu pengusaha lemah. Kesepakatan konglomerat di Jimbaran Bali mungkin merupakan salah satu bukti pengakuan bahwa selama ini kebijakan telah menimbulkan kesenjangan sosial, yakni pengusaha besar bertambah besar sedang pengusaha kecil semakin kecil (bankrut) dan perlu perhatian.
    Kebijakan lain yang tanpa disadari telah menimbulkan kesenjangan sosial adalah deregulasi Paket Oktober 1988. menurut kajian Mudrajad Kuncoro dan Anggito Abimanyu (1955: 50) bahwa yang mendapatkan manfaat besar dari kebijakan itu adalah perusahaan dan industri besar. Dengan menggunakan data 1980-1987 dan 1988-1993, mereka menganalisis dampak deregulasi pada usaha skala besar, sedang, dan kecil.

    Kesenjangan sosial semakin terasa mengkristal dengan menculnya gejala monopoli dan oligopoli memperkecil akses usaha kecil untuk mengembangkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswir (dikutip dalam Bernas, 1855:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat. Perusahan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi mulai dari pabrikasi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif, transportasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media komunikasi. Di perkirakan 200 konglomerat menguasai 58 % PDB. Usaha-usaha rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 %. kesenjangan sosial ini tidak hanya menganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
    Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstimulir kesenjangan sosial adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendapatkan manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam penerapan. Tarik-menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Subendar (1994) menyimpulkan bahwa,

“ Kooptasi tanah-tanah terutama di pedesaan oleh kekuatan besar ekonomi dan luar komunitas semakin
menggejala. Pembangunan sektor ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, insfrastruktur ekonomi, fasilitas sosial, perumahan , dll. Di perkotaan, pemilik modal (konglomerat) bekerja sama dengan birokrat membeli tanah-tanah penduduk untuk kepentingan pembangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan, dll. Begitu pula di pedesaan pemilik modal menggusur penduduk dan memenfaatkan lahan untuk kepentingan agroindustri, perumahan mewah, dan lapangan golf. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara  yang selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas dijadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur penduduk”...

    Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan lahan antara lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak hal belum dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat. Sebagai contoh, Suhendar (1944) melaporkan bahwa selama kurun waktu 1988-1991, jumlah petani di Jawa Barat yang tergusur akibat tanah mereka dialihfungsikan untuk industri sekitar 13.600 petani dengan luas lahan 11.000 hektar. Banyak petani yang tergusur terpaksa kehilangan mata pencaharian. Pada gilirannya, kehidupan masyarakat yang tergusur dalam kondisi tidak menentu serta diliputi dengan ketidakpastian. Memang masyarakat mendapatkan ganti rugi, tetapi harga tanah ditetapkan tanpa melalui kesepakatan dengan masyarakat. Tidak jarang, masyarakat di permainkan dan ditipu oleh spekulan dan calo tanah.
    Dampak lain yang menyertai penerapan kebijakan penatagunaan lahan di pedesaan adalah melemahnya peranan institusi sosial dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan. Sebagai contoh, Singarimbun (1991) memaparkan bahwa hak-hak adat, seperti hak ulayat sudah kurang atau bahkan tidak berfungsi lagi di masyarakat Dayak. Penyebabnya antara lain adalah orang lain yang tidak berhak atas penguasaan tanah, tetapi berbekal aturan formal (konsesi hak pakai), menguasai tanaha yang merupakan tanah adat. Pemanfaatan ini tanpa ada izin dan musyawarah adat. Pengusaha dan pendatang memanfaatkan tanah adat dan cenderung mengabaikan hukum dan syarat yang telah ditentukan adat. Sedang penduduk yang mempunyai hak secara budaya (adat) tidak dapat berbuat apa-apa serta akses mereka untuk memanfaatkan tanah adat yang selama ini sebagai sumber kehidupan mereka, semakin terbatas atau mungkin tidak tidak ada sama sekali. Dalam beberapa kasus, ketua adat tidak dapat mengenakan sangsi adat terhadap mereka yang menggunakan tanah adat dan melanggar ketentuan adat sebab peranan ketua adat dan hukum adat tidak berfungsi dan diberlakukan lagi. Tanpa disadari hal di atas telah mengikis budaya dan norma-norma kehidupan lokal yang telah mendarah daging dalam masyarakat diikuti dengan kontrol masyarakat dalam memanfaatkan tanah ulayat semakin terbatas. Lambat laun hal yang demikian dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan konflik sosial yang tidak menguntungkan bagi ketentraman kehidupan masyarakat.

Modal Asing dan Kesenjangan Sosial

    Kesenjangan sosial belakangan ini dirasakan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya penanaman modal asing. Modal asing terus mengalir diikuti dengan mengalirnya pekerja asing memasuki pasar kerja dalam negeri. Hal ini tidak hanya membatasi peluang untuk berusaha, tetapi juga peluang kerja. Akses masyarakat untuk turut serta memanfaatkan sumber daya semakin kecil. Kebanyakan pemodal dalam negeri kalah bersaing untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia karena keterbatasan modal, penguasaan teknologi dan keterbatasan akses pemasaran. Di samping itu, akses angkatan kerja untuk memasuki pasar kerja semakin kecil karena perusahaan asing cenderung mempekerjakan pekerja asing. Pekerja asing pada tahun 1990 berjumlah 18.355 meningkat menjadi 54.760 pada tahun 1996. selama 6 tahun, jumlah pekerja asing mengalami kenaikan sekitar 4 kali lipat. Pekerja asing mempunyai akses yang cukup besar memasuki pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, seperti manajer profesional, tenaga teknisi, dan supervisor. Kebanyakan pekerja asing menerima upah lebih tinggi dari pekerja Indonesia, di perkirakan mencapai 10 kali lipat.
    Arus pekerja asing memasuki pasar kerja Indonesia di perkirakan akan terus meningkat karena para investor cenderung memilih pekerja-pekerja dari negara mereka sendiri. Alasannya selain tidak sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan, mungkin pekerja Indonesia belum memenuhi kualifikasi yang di butuhkan investor. Pekerja asing ini sekitar 46 % bekerja pada sektor industri, 35 % sektor perdagangan dan jasa. Di sektor pertanian relatif kecil, tetapi dimasa datang kemungkinan pekerja asing akan memasuki sektor pertanian. Mengingat sektor pertanian memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
    Kemungkinan pekerja asing dapat membatasi akses pekerja Indonesia memasuki pasar kerja. Barang meningkatnya angka pengangguran terbuka ada kaitan dengan keterbatasan akses untuk memasuki pasar kerja. Selama 5 tahun terakhir, angka pengangguran terbuka mengalami keanaikan cukup berarti, terutama di kota. Menurut catatan BPS (1992 dan 1995), angka pengangguran terbuka di kota meningkat dari sekitar 6,1 % pada tahun 1990 menjadi 11,1 % pada tahun 1995. memang perlu dipertanyakan apakah keterbatasan akses untuk memasuki pasar kerja atau ada unsur pembatasan-pembatasan dalam proses rekruitmen. 
    Kesenjangan sosial ini mungkin akan terus meningkat di masa datang bila arus modal asing dengan leluasa memasuki Indonesia. Tanpa ada persiapan sangat mungkin kegiatan usaha rakyat tidak mampu bersaing dan akan banyak yang gulung tikar. Bersamaan dengan itu, arus pekerja asing yang memasuki pasar kerja akan meningkat. Tanpa ada upaya yang seksama dalam penaggulangan kesenjangan sosial, maka tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan gejolak sosial yang dapat menganggu proses pembangunan

Berdasarkan paparan lintasan pengalaman dalam penerapan kebijakan selama ini serta kecenderungan era globalisasi, ada kemungkinan kesenjangan sosial semakin meningkat bila tidak dan upaya penanggulangan. Salah satu alternatif penanggulangan yang telah dipikirkan oleh pemerintah antara lain adalah mengembangkan kemitraan usaha nasional. Secara konsepsional, upaya ini cukup memadai, tetapi perlu didukung oleh iklim yang kondusif. Salah satu hal yang perlu dipikirkan adalah merubah sistem birokrasi. Sistem birokrasi aleniasi bersifat satu arah, penuh dengan perintah-perintah, perencanaan dari atas ke bawah atau kekuasaan mengalir dari atas ke bawah perlu dirubah menuju sistem birokrasi humanistik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mengakui hak-hak masyarakat serta sikap melayani masyarakat. Iklim birokrasi aleniasi tidak hanya cenderung menimbulkan  sikap masa bodoh dan mematikan inisiatif, tetapi juga dapat membatasi akses masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dan mengontrol pemanfaatan sumber daya.
   Di samping itu, semangat kemitraan tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi semata, tetapi perlu diikuti dengan semangat kemitraan sosial dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan persamaan hak (equality). Semangat kemitraan sosial adalah kerelaan mengurangi kepentingan pribadi dan perselisihan sosial (konflik) dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan tanpa mengabaikan hak-hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat dalam kemitraan. Dalam mengembangkan semangat kemitraan sosial perlu ditunjang dengan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Tanpa dukungan itu sangat tidak mungkin muncul semangat kemitraan sosial. Dan tanpa itu tidak hanya kesenjangan sosial bertambah tajam tetapi juga dapat memicu munculnya konflik dan kekerasan sosial.

Sumber :
- Tadjudin Noer Effendi,Pembangunan, krisis, dan Arah Reformasi,Surakarta,Muhammadiyah University Press,2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar