Senin, 26 Desember 2011

Pola Pengembangan Sapi Perah Melalui Koperasi


Awalnya kondisi peternak persusuan di indonesia tahun 1978-1990-an bisa dibilang berkecukupan sebab, berdasarkan hitung-hitungan sederhana yang mereka lakukan, pendapatan masih tetap lebih tinggi dibanding biaya produksi. Bustanil Arifin yang saat itu menjabat Menteri Muda Urusan Koperasi sekaligus menjabat sebagai Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) menjadi sosok yang berperan besar dalam mendongkrak usaha tersebut. Mengusung konsep kebijakan Busep rasio yang dirintis pada 1982, usaha peternakan sapi perah rakyat diproteksi. Dengan kapasitasnya sebagai Kabulog, Bustanil lantas berhasil membuka pintu kalangan industri pengolahan susu (IPS) yang ada saat itu untuk menggunakan susu segar produksi rakyat sebagai bahan baku. Kondisi waktu itu sendiri, IPS cenderung lebih senang menggunakan susu impor sebagai bahan baku karena pertimbangan teknis dan ekonomis. Dengan dibukanya pintu pasar IPS ini dan kemudian lebih dibakukan dengan kebijakan wajib serap susu segar dikaitkan dengan izin impor, usaha peternakan sapi perah rakyat yang tergabung dalam wadah koperasi, menjadi terpicu.

Selain itu, ditunjang oleh kebijakan impor bibit sapi sapi perah dari Australia dan Selandia Baru, usaha peternakan sapi perah rakyat khususnya di Pulau Jawa berkembang pesat. Tercatat, dalam tempo sekitar delapan tahun, susu segar produksi dalam negeri telah mampu memasok sekitar 40 persen dari kebutuhan nasional. Padahal, pada 1978 kemampuan susu segar dalam negeri untuk memasok kebutuhan negeri tak lebih dari lima persen. Koperasi, sebagai tempat para peternak sapi perah berhimpun juga  mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Bertahap mereka pun tumbuh dan secara mandiri telah melakukan berbagai kebutuhan pelayanan anggota mulai dari inseminasi buatan, kesehatan hewan, pendinginan dan transportasi susu, prosesing susu dan sebagainya. 

Namun dengan berjalannya waktu, kondisi peternak susu di Indonesia agak menurun dan juga membutuhkan penyegaran.

Industri persusuan di Indonesia memiliki struktur yang sangat lengkap. Salah satunya koperasi susu/KUD. Peternak yang bersatu dalam kelompok yang dinamis mempunyai peranan yang sangat besar bagi berkembangnya suatu sistem agribisnis sapi perah yang efisien.

Koperasi sangat membantu peternak dalam penyediaan sarana dan prasarana produksi, khususnya pakan konsentrat, peralatan produksi, pelayanan kesehatan ternak, serta mengumpulkan susu dari anggota dan menjualnya kepada (industri pengolahan susu ) IPS.

Tingkat ketergantungan peternak susu terhadap koperasi sebesar 10% yang memiliki usaha pengolahan susu menjadi susu pasteurisasi dan yoghurt yang dijual langsung kepada konsumen.

Susu segar dari peternak akan ditampung di koperasi, dalam hal ini koperasi berperan sebagai lembaga pengumpul dan penyalur susu dari peternak. Sebelum dijual ke IPS, susu yang ditampung oleh koperasi mendapatkan perlakuan tertentu sehingga memenuhi standard kualitas yang diminta oleh IPS. Susu segar yang ditampung oleh koperasi terutama dijual kepada IPS, baik IPS hulu maupun IPS hilir. IPS Hulu yaitu industri yang mengolah SSDN menjadi bahan baku susu (bubuk susu) yang akan diolah lebih lanjut oleh IPS hilir. Satu-satunya IPS Hulu yang ada di Indonesia adalah PT. Tirta Amerta Agung, namun saat ini sudah tidak beroperasi lagi karena bangkrut.

Pengalaman 30 tahun telah memperlihatkan bahwa keberhasilan pola pengembangan sapi perah melalui koperasi hanya berpengaruh pada peningkatan produksi dan peningkatan kesempatan kerja (Siregar dan Ilham, 2003). Sampai saat ini hampir 90 persen produksi susu segar dalam negeri dihasilkan oleh koperasi.

Masa keemasan koperasi susu dijumpai pada tahun 1980-an. Jumlah koperasi yang tadinya hanya 27 buah pada tahun 1979 berkembang tujuh kali lipat menjadi 198 pada tahun 1989. Demikian pula terjadi peningkatan yang signifikan pada jumlah tenaga kerja yang terserap pada agribisnis persusuan, baik sebagai peternak pemilik maupun sebagai pekerja. Meningkatnya jumlah koperasi ini tidak terlepas dengan gencarnya program pemerintah dalam pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) di wilayah pedesaan. Namun demikian, berdirinya GKSI pada tahun 1979 sangat berperan dalam mengkondisikan KUD - KUD untuk mengem-bangkan unit usaha persusuan, atau disebut KUD Susu.

Dukungan penuh GKSI terlihat dalam mengembangkan sub-sub sistem agribisnis off farm yang dibutuhkan oleh subsistem on farm sapi perah yang dikembangkan oleh koperasi-koperasi primer. GKSI melakukan pengembangan agribisnis persusuan nasional yang dikaitkan dengan memperhatikan pengembangan pada semua sub-sub sistem secara simultan memungkinkan banyaknya lahir koperasi-koperasi susu baru. Hal yang membedakan antara KUD susu dengan koperasi peternakan sapi perah adalah pada keanggotaan dan jenis usaha yang dikembangkan.

KUD susu merupakan koperasi pedesaan yang bersifat multi purpose dan memiliki unit usaha persusuan, artinya selain anggota yang merupakan peternak sapi perah, koperasi juga memiliki anggota yang mengolah dan mendistribusikan susu yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan koperasi peternak sapi perah yang bersifat single purpose yang semua anggotanya adalah peternak sapi perah. Keluarnya Inpres No. 4 tahun 1984 yang hanya mengakui KUD sebagai satu-satunya jenis koperasi di tingkat pedesaan, maka seharusnya koperasi peternak sapi perah single purpose ini beralih rupa menjadi KUD. Namun dengan izin khusus dari Menteri Koperasi, maka koperasi peternak sapi perah dapat terus berjalan. Pada dasarnya semua koperasi susu di Indonesia adalah anggota GKSI, sebagaimana yang diarahkan sejak semula bahwa pengembangan agribisnis persusuan di Indonesia ditekankan melalui jalur koperasi. Saat krisis ekonomi melanda, usaha sapi perah juga terkena dampaknya. Hal ini terlihat pada adanya fluktuasi jumlah populasi ternak sapi dan tingkat produksi susu yang dihasilkan.

Kebijakan Pemerintah Terhadap Pengadaan Input Susu di Indonesia

Kebijaksanaan pengadaan sarana produksi berupa penyediaan bibit sapi, pakan ternak, dan obat-obatan yang dikaitkan dengan sistem kredit yang layak dan mudah merupakan titik strategi dari pembangunan peternakan. Fungsi pengadaan sarana produksi sangat penting, karena pada umumnya peternak sapi perah rakyat kurang berpengetahuan tentang jenis ternak, pakan ternak, disinfektan, dan obat-obatan yang baik, dalam arti cocok dengan kondisi sehingga diharapkan usaha sapi perah rakyat dapat menghasilkan atau berproduksi dengan hasil yang tinggi dan tentunya efesien. Sedangkan sistem kredit diberikan karena peternak rakyat umumnya berekonomi lemah. Karena itu peran atau fungsi yang sangat penting ini tidak dipercayakan kepada badan usaha yang semata-mata mencari keuntungan (Erwidodo, 1993).

Pelayanan terhadap kebutuhan sarana produksi ternak yang meliputi bibit, peralatan dan terutama pakan konsentrat dilakukan oleh koperasi. Dalam pengadaan sapronak, koperasi bekerjasama dengan dinas terkait, GKSI, pihak perbankan, pemasok bahan baku dan pabrik makanan ternak. Dalam kebijakan pemasukan bibit ternak sapi perah, ada tiga SK Menteri Pertanian, yaitu :
·         SK Menteri Pertanian Nomor 750/Kpts/Um/10/82 tentang syarat-syarat pemasukan bibit ternak dari luar negeri.
·         SK Menteri Pertanian Nomor 752/Kpts/Um/10/82 tentang syarat-syarat teknik bibit sapi perah yang dimasukkan dari luar negeri.
·         SK Menteri Pertanian Nomor 753/Kpts/Um/10/82 tentang kesehatan bibit sapi perah yang akan dimaukkan dari Australia dan Selandia Baru.
Inti dari kebijakan ini adalah menitikberatkan persyaratan teknis agar impor bibit sapi perah tidak berdampak negatif, terutama penyakit ternak atau mutu genetis sapi perah yang rendah. Hal ini dimaksudkan agar bibit sapi perah yang masuk ke Indonesia terjamin kualitasnya dan mempunyai standar kualifikasi tertentu. Sedangkan para peternak tersebut dilatih terlebih dahulu, agar memahami sepenuhnya apa yang harus dikerjakan untuk menghasilkan sapi-sapi prima. Jika ada peternak berpotensi tetapi terhambat modal maka perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Kebijakan Pemerintah Terhadap Produksi Susu di Indonesia

Produksi susu di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan Impor susu dari negara lain terutama dari negara Australia. Pemerintah melakukan impor susu dalam bentuk bubuk untuk memenuhi permintaan susu dalam negeri. Susu tersebut diimpor dalam bentuk SMF (Skim Milk Powder) dan AMF (Anhydrous Milk Fat). Susu yang diimpor akan diolah kembali oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) dan oleh non Industri Pengolahan Susu.

Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia yang cukup signifkan itu tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan yang bersifat lintas sektoral, perlindungan atau proteksi terhadap usaha peternakan rakyat dan penyediaan fasilitas kredit serta permodalan dalam meningkatkan skala usaha dan populasi sapi perah di tingkat keluarga peternak. Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri, yakni Menteri Koperasi, Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang selanjutnya dikukuhkan dengan INPRES Nomor 2 Tahun 1985 mengatur tentang pemasaran susu segar dari peternak ke IPS. Oleh karena itu, IPS wajib menerima susu segar dalam negeri (SSDN) dan bukti serap sebagai pengaman harga SSDN dan harga bahan baku impor.

Beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah selama ini adalah adanya (a) rasio impor bahan baku susu yang dikaitkan dengan keharusan serap susu segar domestik, atau yang lebih dikenal dengan rasio BUSEP (Bukti Serap), dan (b) penerapan tarif impor untuk bahan baku susu impor maupun produk susu (susu bubuk, keju dan mentega). Namun, Sejak ditandatanganinya kesepakatan antara Pemerintah RI dengan IMF pada bulan Januari 1998 tentang penghapusan tataniaga SSDN, maka sejak saat itu sistem rasio BUSEP juga telah dihapus. Dengan ketentuan tersebut sesungguhnya komoditas susu telah memasuki era pasar bebas, meskipun seharusnya baru akan dimulai pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa komoditas susu memasuki pasar bebas lebih awal dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan, sehingga harus memiliki daya saing kuat untuk mengantisipasi masuknya bahan baku susu impor. Oleh karenanya harga SSDN yang berlaku harus merupakan harga pasar yang kompetitif, terutama jika dipertimbangkan ancaman dari produsen susu kaliber dunia dari negara tetangga seperti Australia dan New Zealand.

Sejak bulan November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan kurangnya supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen, pemerintah melakukan program peningkatan daya saing industri susu di dalam negeri yaitu dengan memberikan insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk oleh pemerintah atas impor barang dan bahan olah industri pengolahan susu (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.011/2008). Hal tersebut juga diperparah dengan dikeluarkannya kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif impor masuk dari lima persen menjadi nol persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 19/PMK.011/2009 pada bulan April dan efektif diberlakukan sejak 1 Juni 2009. Kondisi ini memberikan implikasi bahwa IPS memiliki pilihan yang kuat dalam menentukan harga kontrak, mengingat harga susu impor (bubuk) jauh lebih murah hingga 15 persen dari susu lokal, serta memperburuk kondisi peternak sapi perah, karena mendapatkan harga yang lebih rendah dan posisi tawar yang lemah.

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar