Rabu, 20 April 2011

Tugas 3

1.      Jelaskan dengan singkat yang dimaksud dengan :

A. Pertumbuhan dan Kesenjangan

Pertumbuhan adalah Proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam definisi tersebut, yaitu :
1.      Proses
2.      Output Per Kapita
3.      Jangka Panjang
Pertumbuhan adalah suatu proses, bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat.

Simon Kuznet mendefefinisikan pertumbuhan suatu negara sebagai “Kemampuan negar itu untuk menyediakan barang-barang ekonomi yang terus meningkat bagi penduduknya, pertumbuhan kemampuan ini berdasarkan pada kemajuan teknologi kelembagaan serta penyesuaian ideologi yang dibutuhkannya”.

Dalam analisisnya yang mendalam, Kuznet memisahkan enam karakteristik yang terjadi dalam proses pertumbuhan pada hampir semua negara dan dari pendapatnya tersebut dibawah ini terlihat bahwa salah satu faktor yang sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yaitu : Perdagangan (Ekspor).

Dua variabel ekonomi agregatif : tingginya tingkat pertumbuhan output per kapita dan populasi dan tingginya tingkat kenaikan produktivitas faktor produksi secara keseluruhan atau terutama produktivitas tenaga kerja.
Dua transformasi struktural : tingginya tingkat transformasi struktur ekonomi dan tingginya tingkat transformasi sosial dan ideologi.
Dua faktor yang mempengaruhi meluasnya pertumbuhan ekonomi internasional :
kesenderungan negara-negara maju secara ekonomi untuk menjangkau seluruh dunia untuk mendapatkan pasar (ekspor) dan bahan baku dan pertumbuhan ekonomi ini hanya di nikmati oleh sepertiga populasi dunia.

Hal ini sejalan dengan pendapat Krugman dan Obstfeit yang menyatakan secara teoritis, bahwa perdagangan Internasional terjadi karena dua alasan utama, yaitu :

a. Adanya keuntungan dalam melakukan perdagangan (gains from trade) bagi negara, dikarenakan adanya perbedaan diantara mereka mengenai faktor-faktor yang dimilikinya.
b. Untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, jika setiap negara hanya menghasilkan sejumlah barang-barang tertentu mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan jika negara tersebut mencoba untuk memproduksi segala jenis barang. Kenyataannya bahwa pola-pola perdagangan dunia yang mengakibatkan tejadinya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan perpaduan dari dua motif tersebut diatas.

Disini nampak  aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Selain itu pertumbuhan memiliki sifat self-generating yaitu proses pertumbuhan itu sendiri melahirkan kekuatan atau momentum bagi timbulnya kelanjutan pertumbuhan tersebut dalam periode selanjutnya.
Sedangkan menurut teori, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor apa saja yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan kenaikan output (Produk Domestik Bruto) dan pendapatan riil perkapita memang bukanlah satu-satunya sasaran di negara-negara berkembang, namun kebijakan ekonomi dalam meningkatkan pertumbuhan output perlu dilakukan karena merupakan syarat penting untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan untuk mendukung tujuan kebijakan pembangunan lainnya.
Output atau PDB (Widodo, 1990) adalah nilai seluruh barang jadi dan jasa-jasa yang diperoleh dan merupakan nilai seluruh produksi yang dibuat di dalam negeri, tanpa membedakan apakah produk tersebut dibuat dari faktor produksi yang berasal dari dalam negara tersebut atau faktor produksi yang berasal dari negara-negara lain yang digunakan negara tersebut. Perlu dicatat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mencerminkan kemakmuran suatu negara. Oleh karena itu perlu kiranya mengukur tingkat pertumbuhan dengan menggunakan PDB perkapita sehingga tidak hanya mengukur kenaikan PDB, melainkan juga kenaikan jumlah penduduk.
Pada zaman sekarang seringkali pembangunan disamakan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi karena orang percaya, hasil-hasil pembangunan akan dengan sendirinya menetes ke bawah (
trickle down) sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang sekarang tergolong maju. Jadi, yang perlu diusahakan dalam pembangunan adalah bagaimana caranya untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut. Bahwa pada tahap awal pembangunan (Todaro, 1998) terdapat tingkat kesenjangan pembagian pendapatan yang menyolok seperti yang ditulis oleh Simon Kuznet dalam penelitian empirisnya mengenai negara-negara maju, yang dikenal dengan kurva U terbalik. Adalah suatu hal yang wajar, keadaan ini juga akan dilalui oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia dalam proses pembangunannya.

Kesenjangan adalah terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi merupakan 2 masalah besar di negara-negara berkembang.Di Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah menetapkan kebijaksanaan pembangunan yang disebut dengan“TRICKLE DOWN EFFECTS” yaitu bagaimana mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang relatif singkat. Untuk itu, maka pembangunan ekonomi nasional dimulai dari Pulau Jawa (khususnya jawa Barat), dengan alasan bahwa di Pulau Jawa sudah tersedia infrastruktur, dengan harapan bahwa hasil-hasil pembangunan itu akan menetes ke sektor dan wilayah lain di Indonesia. Akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa setelah 10 tahun berlalu sejak Pelita I (1969) ternyata efek tersebut tidak tepat. Memang pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an (sebelum krisis ekonomi), tetapi tingkat kesenjangan juga semakin besar dan jumlah orang miskin tetap banyak. Keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi saja, tetapi yang lebih penting adalah Distribusi Peningkatan Pendapatan kepada semua anggota masyarakat. Menjelang pertengahan tahun 1997 (sebelum krisis) tingkat pendapatan perkapita Indonesi rata-rata melebihi 1.000 dollar AS. Akan tetapi apa artinya kalau hanya 10% saja dari jumlah tersebut yang menikmatinya.

B. Kemiskinan

Definisi Kemiskinan dilihat dari beberapa segi :

1. Dilihat dari standar kebutuhan hidup yang layak/ pemenuhan kebutuhan pokok

Golongan ini mengatakan bahwa kemiskinan itu adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok/ dasar disebabkan karena adanya kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar hidup yang layak. Ini merupakan kemiskinan absolut/ mutlak yakni tidak terpenuhinya standar kebutuhan pokok/ dasar.

2. Dilihat dari segi pendapatan/penghasilan Income

Kemisikinan oleh golongan ini dilukiskan sebagai kurangnya pandapatan/ penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

3. Dilihat dari segi kesempatan/opportunity

Kemiskinan adalah karena ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan (meraih) basis kekuasaan sosial meliputi :

a. Keterampilan yang memadai
b. Informasi/pengetahuan-pengetahuan yang berguna bagi kemajuan hidup
c. Jaringan-jaringan sosial/Social Network
d. Organisasi-organisasi sosial dan politik
e. Sumber-sumber modal yang diperlukan bagi peningkatan pengembangan kehidupan

4. Dilihat dari segi keadaan/kondisi

Kemiskinan sebagai suatu kondisi/keadaan yang bisa dicirikan dengan :

a. Kelaparan/Kekurangan makan dan gizi
b. Pakaian dan Perumahan yang tidak memadai
c.  Tingkat pendidikan rendah
d. Sangat sedikitnya kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang pokok

5. Dilihat dari segi penguasaan terhadap sumber-sumber

Menurut golongan ini kemiskinan merupakan keterlantaran yang disebabkan olej penyebaran yang tidak merata dan sumber-sumber (malldistribution of resources), termasuk didalamnya pendapatan/Income.

6. Kemiskinan menurut Drewnowski

Drewnowski (Epi Supiadi:2003) mencoba menggunakan indikator-indiktor sosial untuk mengukur tingkat-tingkat kehidupan (the level of living index). Menurutnya terdapat tiga tingkatan kebutuhan untuk menentukan tingkat kehidupan seseorang.

a. Kehidupan fisik dasar (basic fisical needs), yang meliputi gizi/nutrisi, perlindungan/perumahan (shelter/housing) dan kesehatan.
b. Kebutuhan budaya dasar (basic cultural needs), yang meliputi pendidikan, penggunaan waktu luang dan reaksi dan jaminan sosial (social security).
c.   High Income, yang meliputi pendapatan yang surplus atau melebihi takaran.

        2.   Sebutkan dan Jelaskan faktor-faktor penyebab Kemiskinan?

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dikategorikan dalam dua hal berikut ini :

A. Faktor Internal

yaitu beberapa kekurangmampuan dalam hal :

a. Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.
b. Intelektual misalnya kurangnya pengetahuan, kebodohan, kekurangtahuan informasi.
c. Mental emosional misalnya malas, mudah menyerah, putus asa temperamental.
d. Spiritual misalnya tidak jujur, penipu, serakah, tidak disiplin.
e. Sosial psikologis misalnya kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/stres, kurang relasi, kurang
    mampu mencari dukungan.
f. Keteramplan misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan kerja.
g. Asset misalnya tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan
    modal kerja.

B. Faktor Eksternal

yang menyebabkan terjadinya Kemiskinan antara lain :

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar.
b. Tidak dilindungi hak atas kepemilikan tanah.
c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor informal.
d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit makro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor 
    usaha mikro.
e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak.
f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal seperti zakat.
g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (Struktural Adjusment Program/SAP).
h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.
I. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah bencana.
j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material.
k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.
l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.

        3.   Sebutkan dan Jelaskan problem pemerintah saat ini untuk menaggulangi kemiskinan
              di Indonesia

1. Ketidaktepatan pendekatan wilayah dan kelompk sasaran sera lemahnya kemitraan. Ini disebabkan karena meskipun jumlah dana dari sektor swasta banyak tetapi pola dan pendekatan serta lokasi tak pernah terkoordinir dengan baik. Walaupun banyak kalangan yang menangani masalah kemiskinan
tetapi harus dibarengi dengan adanya koordinasi lintas profesional, sektor dan tingkatan pemerintah. Karena sebaliknya, tanpa sinergitas dan kerjasama antar lintas kalangan, situasi ini dapat mengarah pada ketidakefektifan program dan kegiatan, tumpang tidih program, kejenuhan sasaran dan bahkan system ubuse, yang pada gilirannya dapat menjauhkan pencapaian tujuan penaggulangan kemiskinan itu sendiri.

2. konteks keberfungsian sosial sebagai tujuan akhir dari pembangunan kesejahteraan sosial (penanggulangan kemiskinan didalamnya) tujuan program selama ini belum tercapai. Program dan kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial dalam konteks menangani masalah kemiskinan secara garis besar harus diarahka pada tiga bidang, yaitu pelayanan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat.

3. fokus kegiatan tersebut dilakukan berdasar pada kebijakan atau strategi yang bermatra pencegahan, pemyembuhan dan pengembangan. Hal ini bisa terjadi jika pendekatan program dari semua pihak dibangun dengan filosofi pekerjaan sosial.

4. Latar belakang pendidikan yang rendah di tengah-tengah ekonomi kapitalis seperti sekarang ini. Masyarakat yang dalam keadaan bersaing keras, maka yang lemah akan kalah dan tersisih.orang lemah tidak akan menjadi penentu, melainkan akan ditentukan, yakni ditentukan oleh orang-orang yang kuat. Mereka akan sangat bergantung dalam segala hal. Jika mereka sebagai buruhnya, tergantung pada pemilik perusahaan. Orang yang berpendidikan rendah, yang kebetulan berposisi sebagai buruh itu, tidak memiliki pilihan lain, kecuali menerima keadaan.

5. wilayah yang tidak memiliki sumber daya alam yang potensial. Mengembnagkan ekonomi di wilayah pegunungan tandus, siapapun akan mengalami kesulitan. Contoh yang paling mudah, mengembangkan ekonomi masyarakat pegunungan bagian selatan pulau Jawa, mulai dari Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulung Agung, Trenggalek, Pacitan sampai daerah Gunung Kidul Jawa Tengah dan wilayah lain semacamnya, tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

6. Pola kehidupan masyarakat yang telah menjadi kultur sering kali tidak mudah diubah. Hubungan-hubungan sosial ekonomi antara majikan dan buruh, baik di daerah pertanian, nelayan dan lainnya yang sudah terlanjur menjadi kokoh sulit diubah sehingga menjadi kemiskinan tetap bertahan.

Sumber :








 

Jumat, 15 April 2011

PEMBANGUNAN DAN KESENJANGAN SOSIAL


Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di beberapa daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan pembangunan selama ini. Kesenjangan sosial diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang usaha, dan kerja. Bisa berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran pilitik, pemenuhan pengembangan karir, dll.

Kesenjangan Sosial : Penjelasan Teoritis

    Mengapa terjadi kesenjangan sosial? Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang-kurangnya ada dua faktor yang dapat menghambat. Pertama, faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas sumber daya manusia karena tingkat pedidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai tertentu masyarakat yang tidak terintegrasi dengan masyarakat luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupen masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena masyarakat itu terkukung dalam kebudayaan kemiskinan.
    Kedua, faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan) sehingga dapat membatasi memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas SDM, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan struktural. Alfian,Melly g. Tan dan Selo Sumarjan (1980:5) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural dapat meliputi kekurangan fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi, kekurangan fasilitas untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang kerja dan kekurangan perlindungan hukum.
    Faktor mana yang paling dominan menyebabkan kesenjangan sosial. Kendati faktor internal dan kebudayaan (kebudayaan kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kesenjangan sosial, tetapi tidak sepenuhnya menentukan. Penjelasan itu setidaknya mengandung dua kelemahan. Pertama, sangat normatif dan mengandung kecurigaan dan prasangka buruk pada orang miskin serta mengesampingkan norma-norma yang ada (Baker,1980:6). Kedua, penjelasan itu cenderung membesar-besarkan kemapanan kemiskinan. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kaum miskin senantiasa bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan mempunyai motivasi untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mereka mampu menciptakan peluang kerja sendiri dan senantiasa bekerja keras untuk memenuhi tuntutan kehidupan mereka. Setiap saat orang miskin berusaha memperbaiki kehidupan dengan cara beralih dari satu usaha ke usaha lain dan tidak mengenal putus asa (Sethuraman,1981: Steele,1985).
    Jika demikian halnya, maka ihwal kesenjangan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi orang miskin “Jalan ke atas sering kali dirintangi”, sedang “Jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”. Dengan kata lain, gejala kesenjangan sosial dan kemapanan kemiskinan lebih disebabkan adanya himpitan struktural. Perlu dipertanyakan mengapa masyarakat dan kaum miskin pasrah dengan keadaan itu? Ketidakberdayaan (politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah ditaklukkan dan dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha. Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha.

Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Sosial

    Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa kebijakan yang diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengelurkan UU Penanaman Modal Asing dengan memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan dan menarik kepada investor dibanding dengan kebijakan sebelumnya. Kebijakan ini berlangsung terus hingga kini. Kegiatan industri meningkat tajam dan sumbangan pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9 % pada tahun 1970 menjadi sekitar 17 % pada tahun 1992 (Booth dan McCawley, 1986:82) dan Sjahrir 1993:16). pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan. Pendek kata, selama Orde Baru perekonomian mengalami kemajuan pesat. Namun, bersamaan dengan itu ketimpangan sosial meningkat. Kebijakan itu hanya dapat dinikmati oleh segolongan atau sekelompok kecil masyarakat, terutama mereka yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi, sedangkan sebagian besar masyarakat yang kurang atau tidak mempunyai akses sama sekali kurang memperoleh atau hanya memperoleh sedikit manfaat. Bahkan, ada masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat sama sekali.
    Menurut Dawam Rahardjo (1984:177), sejak diterapkan kebijakan pintu terbuka banyak industri tradisional, terutama tekstil, gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan industri modern. Diperkirakan pada tahun 1969-1970, jumlah industri tekstil tradisional ada sekitar 324.000 perusahaan. Pada tahun 1976-1977 hanya tersisa 60.000 perusahaan. Berarti sekitar 60 % tidak dapat beroperasi lagi karena tidak mampu bersaing dengan industri modern. Kehancuran industri tradisional tidak hanya melanda industri tekstil, tetapi juga industri minuman tradisional. Banyak industri minuman tradisional bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan indutri minuman modern, seperti Coca-Cola, Seven Up, dll. Demikian juga, industri kecil pedesaan yang memproduksi alat rumah tangga yang memanfaatkan bahan baku tanah dan bambu banyak gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan industri modern plastik (White, 1986). beberapa industri ada yang mampu bertahan, walaupun dalam kondisi memprihatinkan. Kondisi sosial sarat dengan penderitaan, pengusaha menjalankan usha hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan tidak punya masa depan.
    Menyadari keadaan itu pada tahun 1987 (Pelita III) keluar kebijakan untuk membantu pengembangan industri kecil dan rumah tangga. Kebijakan bersifat lintas sektoral dengan melibatkan beberapa instansi. Beberapa program dikembangkan antara lain, mempermudah perizinan, penyediaan fasilitas kredit (KIK, KMKP, KCK, KUPEDES, dll), pengadaan bahan baku, pengembangan program Bapak Angkat dan kemudahan pemasaran melalui Kepres 14 dan 14 A. dari segi program dapat dikatakan cukup bagus, tetapi tanpa disadari telah mempertajam kesenjangan sosial. Menurut laporan Bernas (1944) hampir 80 % program kredit dinikmati oleh pengusaha besar, sedang  pengusaha lemah hanya menikmati sekitar 20 %. program Bapak Angkat dalam penerapan ternyata cenderung membebani dan merugikan pengusaha kecil ketimbang membantu mereka. Prosedur perizinan ternyata lebih banyak menimbulkan masalah karena birokrasi cenderung menguntungkan pengusaha besar. Prosedur lebih banyak menimbulkan rent seeking, yakni oknum mencari keuntungan-keuntungan yang tidak wajar, daripada membantu pengusaha lemah. Menyadari kelemahan itu belakangan ini muncul ide dan himbauan dari pemerintah dan presiden gar pengusaha kuat (konglomerat) membantu pengusaha lemah. Kesepakatan konglomerat di Jimbaran Bali mungkin merupakan salah satu bukti pengakuan bahwa selama ini kebijakan telah menimbulkan kesenjangan sosial, yakni pengusaha besar bertambah besar sedang pengusaha kecil semakin kecil (bankrut) dan perlu perhatian.
    Kebijakan lain yang tanpa disadari telah menimbulkan kesenjangan sosial adalah deregulasi Paket Oktober 1988. menurut kajian Mudrajad Kuncoro dan Anggito Abimanyu (1955: 50) bahwa yang mendapatkan manfaat besar dari kebijakan itu adalah perusahaan dan industri besar. Dengan menggunakan data 1980-1987 dan 1988-1993, mereka menganalisis dampak deregulasi pada usaha skala besar, sedang, dan kecil.

    Kesenjangan sosial semakin terasa mengkristal dengan menculnya gejala monopoli dan oligopoli memperkecil akses usaha kecil untuk mengembangkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswir (dikutip dalam Bernas, 1855:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat. Perusahan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi mulai dari pabrikasi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif, transportasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media komunikasi. Di perkirakan 200 konglomerat menguasai 58 % PDB. Usaha-usaha rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 %. kesenjangan sosial ini tidak hanya menganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
    Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstimulir kesenjangan sosial adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendapatkan manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam penerapan. Tarik-menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Subendar (1994) menyimpulkan bahwa,

“ Kooptasi tanah-tanah terutama di pedesaan oleh kekuatan besar ekonomi dan luar komunitas semakin
menggejala. Pembangunan sektor ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, insfrastruktur ekonomi, fasilitas sosial, perumahan , dll. Di perkotaan, pemilik modal (konglomerat) bekerja sama dengan birokrat membeli tanah-tanah penduduk untuk kepentingan pembangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan, dll. Begitu pula di pedesaan pemilik modal menggusur penduduk dan memenfaatkan lahan untuk kepentingan agroindustri, perumahan mewah, dan lapangan golf. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara  yang selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas dijadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur penduduk”...

    Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan lahan antara lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak hal belum dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat. Sebagai contoh, Suhendar (1944) melaporkan bahwa selama kurun waktu 1988-1991, jumlah petani di Jawa Barat yang tergusur akibat tanah mereka dialihfungsikan untuk industri sekitar 13.600 petani dengan luas lahan 11.000 hektar. Banyak petani yang tergusur terpaksa kehilangan mata pencaharian. Pada gilirannya, kehidupan masyarakat yang tergusur dalam kondisi tidak menentu serta diliputi dengan ketidakpastian. Memang masyarakat mendapatkan ganti rugi, tetapi harga tanah ditetapkan tanpa melalui kesepakatan dengan masyarakat. Tidak jarang, masyarakat di permainkan dan ditipu oleh spekulan dan calo tanah.
    Dampak lain yang menyertai penerapan kebijakan penatagunaan lahan di pedesaan adalah melemahnya peranan institusi sosial dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan. Sebagai contoh, Singarimbun (1991) memaparkan bahwa hak-hak adat, seperti hak ulayat sudah kurang atau bahkan tidak berfungsi lagi di masyarakat Dayak. Penyebabnya antara lain adalah orang lain yang tidak berhak atas penguasaan tanah, tetapi berbekal aturan formal (konsesi hak pakai), menguasai tanaha yang merupakan tanah adat. Pemanfaatan ini tanpa ada izin dan musyawarah adat. Pengusaha dan pendatang memanfaatkan tanah adat dan cenderung mengabaikan hukum dan syarat yang telah ditentukan adat. Sedang penduduk yang mempunyai hak secara budaya (adat) tidak dapat berbuat apa-apa serta akses mereka untuk memanfaatkan tanah adat yang selama ini sebagai sumber kehidupan mereka, semakin terbatas atau mungkin tidak tidak ada sama sekali. Dalam beberapa kasus, ketua adat tidak dapat mengenakan sangsi adat terhadap mereka yang menggunakan tanah adat dan melanggar ketentuan adat sebab peranan ketua adat dan hukum adat tidak berfungsi dan diberlakukan lagi. Tanpa disadari hal di atas telah mengikis budaya dan norma-norma kehidupan lokal yang telah mendarah daging dalam masyarakat diikuti dengan kontrol masyarakat dalam memanfaatkan tanah ulayat semakin terbatas. Lambat laun hal yang demikian dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan konflik sosial yang tidak menguntungkan bagi ketentraman kehidupan masyarakat.

Modal Asing dan Kesenjangan Sosial

    Kesenjangan sosial belakangan ini dirasakan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya penanaman modal asing. Modal asing terus mengalir diikuti dengan mengalirnya pekerja asing memasuki pasar kerja dalam negeri. Hal ini tidak hanya membatasi peluang untuk berusaha, tetapi juga peluang kerja. Akses masyarakat untuk turut serta memanfaatkan sumber daya semakin kecil. Kebanyakan pemodal dalam negeri kalah bersaing untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia karena keterbatasan modal, penguasaan teknologi dan keterbatasan akses pemasaran. Di samping itu, akses angkatan kerja untuk memasuki pasar kerja semakin kecil karena perusahaan asing cenderung mempekerjakan pekerja asing. Pekerja asing pada tahun 1990 berjumlah 18.355 meningkat menjadi 54.760 pada tahun 1996. selama 6 tahun, jumlah pekerja asing mengalami kenaikan sekitar 4 kali lipat. Pekerja asing mempunyai akses yang cukup besar memasuki pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, seperti manajer profesional, tenaga teknisi, dan supervisor. Kebanyakan pekerja asing menerima upah lebih tinggi dari pekerja Indonesia, di perkirakan mencapai 10 kali lipat.
    Arus pekerja asing memasuki pasar kerja Indonesia di perkirakan akan terus meningkat karena para investor cenderung memilih pekerja-pekerja dari negara mereka sendiri. Alasannya selain tidak sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan, mungkin pekerja Indonesia belum memenuhi kualifikasi yang di butuhkan investor. Pekerja asing ini sekitar 46 % bekerja pada sektor industri, 35 % sektor perdagangan dan jasa. Di sektor pertanian relatif kecil, tetapi dimasa datang kemungkinan pekerja asing akan memasuki sektor pertanian. Mengingat sektor pertanian memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
    Kemungkinan pekerja asing dapat membatasi akses pekerja Indonesia memasuki pasar kerja. Barang meningkatnya angka pengangguran terbuka ada kaitan dengan keterbatasan akses untuk memasuki pasar kerja. Selama 5 tahun terakhir, angka pengangguran terbuka mengalami keanaikan cukup berarti, terutama di kota. Menurut catatan BPS (1992 dan 1995), angka pengangguran terbuka di kota meningkat dari sekitar 6,1 % pada tahun 1990 menjadi 11,1 % pada tahun 1995. memang perlu dipertanyakan apakah keterbatasan akses untuk memasuki pasar kerja atau ada unsur pembatasan-pembatasan dalam proses rekruitmen. 
    Kesenjangan sosial ini mungkin akan terus meningkat di masa datang bila arus modal asing dengan leluasa memasuki Indonesia. Tanpa ada persiapan sangat mungkin kegiatan usaha rakyat tidak mampu bersaing dan akan banyak yang gulung tikar. Bersamaan dengan itu, arus pekerja asing yang memasuki pasar kerja akan meningkat. Tanpa ada upaya yang seksama dalam penaggulangan kesenjangan sosial, maka tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan gejolak sosial yang dapat menganggu proses pembangunan

Berdasarkan paparan lintasan pengalaman dalam penerapan kebijakan selama ini serta kecenderungan era globalisasi, ada kemungkinan kesenjangan sosial semakin meningkat bila tidak dan upaya penanggulangan. Salah satu alternatif penanggulangan yang telah dipikirkan oleh pemerintah antara lain adalah mengembangkan kemitraan usaha nasional. Secara konsepsional, upaya ini cukup memadai, tetapi perlu didukung oleh iklim yang kondusif. Salah satu hal yang perlu dipikirkan adalah merubah sistem birokrasi. Sistem birokrasi aleniasi bersifat satu arah, penuh dengan perintah-perintah, perencanaan dari atas ke bawah atau kekuasaan mengalir dari atas ke bawah perlu dirubah menuju sistem birokrasi humanistik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mengakui hak-hak masyarakat serta sikap melayani masyarakat. Iklim birokrasi aleniasi tidak hanya cenderung menimbulkan  sikap masa bodoh dan mematikan inisiatif, tetapi juga dapat membatasi akses masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dan mengontrol pemanfaatan sumber daya.
   Di samping itu, semangat kemitraan tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi semata, tetapi perlu diikuti dengan semangat kemitraan sosial dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan persamaan hak (equality). Semangat kemitraan sosial adalah kerelaan mengurangi kepentingan pribadi dan perselisihan sosial (konflik) dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan tanpa mengabaikan hak-hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat dalam kemitraan. Dalam mengembangkan semangat kemitraan sosial perlu ditunjang dengan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Tanpa dukungan itu sangat tidak mungkin muncul semangat kemitraan sosial. Dan tanpa itu tidak hanya kesenjangan sosial bertambah tajam tetapi juga dapat memicu munculnya konflik dan kekerasan sosial.

Sumber :
- Tadjudin Noer Effendi,Pembangunan, krisis, dan Arah Reformasi,Surakarta,Muhammadiyah University Press,2000.

SISTEM EKONOMI PASAR BERKEADILAN

Tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara lahir dan batin, material dan spritual,untuk itu sangat diperlukan adanya konsep kebijakan pembangunan ekonomi. Kebijakan pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah suatu keputusan strategis mengenai upaya-upaya perencanaan dan mekanisme pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional. Strategis karena mempunyai dampak yang berjangka panjang, meluas, mendalam dan menentukan kelangsungan hidup bangsa, arah dan kapasitas pertumbuhan ekonomi bangsa.

Suatu hal yang esensil dari suatu kebijakan adalah berupaya untuk mengalokasikan sumber-sumber daya materil dan manusia untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemaslahatan rakyat. Kebijakan ekonomi harus bergerak kearah suatu sintesis yang rasional antara syarat pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. Kebijakan ekonomi harus tetap didasari dengan konsep-konsep ekonomi positif namun dalam implementasinya harus disertai dengan konsep-konsep yang normatif dan pragmatis, sesuai perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan mekanisme pasar. Disamping itu sangat diperlukan penentuan prioritas, karena dengan segala keterbatasan yang ada maka hal yang penting harus dahulukan dari hal yang kurang penting pada suau periode tertentu. Pembangunan ekonomi harus ditempuh secara  bertahap dan berjangka waktu. Perencanaan kebijakan pembangunan ekonomi jangka pendek harus tetap terpadu dengan perencanaan kebijakan ekonomi jangka panjang.

WAWASAN PEMBANGUNAN EKONOMI

wawasan utama dalam penyelenggaraan pembangunan ekonomi untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi adalah wawasan kebangsaan yang merupakan wawasan yang bersumber pada pancasila dan UUD 1945, yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan seluruh komponen bangsa dan kesatuan bangsa Indonesia serta kesatuan wilayah yang khususnya mencakup perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi dalam arti :

1.      Bahwa kekayaan wilayah nusantara baik potensial maupun aktual adalah modal dan milik bersama bangsa dan bahwa kebutuhan bahan pokok harus tersedia merata diseluruh wilayah tanah air pada jumlah yang memadai, dan pada harga yang stabil dan terjangkau oleh rakyat.

2.      Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang diseluruh daerah, dimana daerah yang lebih kuat harus turut membantu daerah yang kurang kuat.

3.      Kehidupan perekonomian diseluruh wilayah nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Disamping 3 pokok wawasan tersebut maka pembangunan ekonomi perlu mempunyai 9 wawasan yang khusus yaitu :

1.      Bahwa sistem perekonomian pasar harus tetap merupakan pegangan pokok dalam mengefisienkan alokasi sumber daya dan optimalisasi nilai guna.

2.      Persamaan memperoleh peluang dan kesempatan berusaha serta pemilikan individu bagi seluruh pelaku ekonomi harus dijamin oleh negara tanpa diskriminasi dan berkeadilan. Keadilan diartikan menempatkan manusia sesuai dengan posisinya dan bukan atas dasar prinsip kesetaraan sesama warga bangsa. Keanekaragaman kapasitas dan bakat yang ada pada diri warga bangsa dapat menghasilkan keanekaragaman penghasilan dan imbalan material.

3.      Upaya peningkatan efisiensi usaha dan pertumbuhan usaha harus terus digalakkan untuk menjadi unggul dalam persaingan global, namun harus turut memperhatikan dampak negatif atas kecenderungan monopolistis dan monopsonistis dan praktek penguasaan pasar lainnya yang merugikan masyarakat produsen dan konsumen.

4.      Untuk menggalakkan pertumbuhan ekonomi dalam serta turut serta dalam memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas maka kerjasama ekonomi regional dan kerjasama dengan pihak investor asing harus terus dibina dan ditingkatkan, namun tetap memperhatikan tingkat ketergantungan terhdap modal asing, tenaga asing dan bahan baku impor.

5.      Peranan birokrasi harus lebih diberdayakan dalam mendukung dunia usaha dengan turut menumbuhkan cara pandang dan sikap kewiraswastaan yang proaktif dan berwawasan luas dan jangka panjang dalam lingkungannya dan memahami budaya perusahaan.

6.      Pembangunan fasilitas ekonomi oleh pemerintah harus tetap mengutamakan prinsip manfaat ekonomi optimal dan melibatkan peran serta swasta dan koperasi seluas-luasnya baik langsung maupun tidak langsung.

7.      Pembangunan dan pengelolaan BUMN harus turut melibatkan peran swasta dan koperasi seluas-luasnya baik langsung maupun tidak langsung.

8.      Dalam proses dinamisasi kegiatan ekonomi, terutama sektor usaha nasional, industri, perdagangan pengelolaan dan pemanfaatan aset nasional, peranan sektor swasta harus ditonjolkan sebagai pelaku utama.

9.      Peranan sektor swasta dalam kegiatan ekonomi, harus memberikan peluang dan akses yang lebih besar bagi keterlibatan sebanyak mungkin anggota masyarakat khususnya pada segmen industri rumah tangga, pedagang kecil, koperasi primer dan unit-unit usaha lainnya yang berskala kecil dan menengah.

SASARAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Sasaran umum pembangunan ekonomi adalah tumbuh dan berkembangnya sikap dan tekad hidup yang produktif, bekerjasama dalam berkompetisi, berkompetisi dalam efisiensi, mencapai suatu bangsa Indonesia yang unggul di dunia yang dapat menembus harga diri bangsa, melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan di berbagai sektor ekonomi, penegakan dan pengembangan sistem ekonomi yang demokratis dan berkeadilan.

  Selain sasaran umum tersebut diatas, diperlukan penegasan dalam bentuk 9 sasaran strategis pembangunan ekonomi yaitu :

1.      disertai penciptaan sikap dan perilaku masyarakat pelaku ekonomi agar masyarakat yang berbudaya industri dan budaya korporat, yang sanggup bekerja secara sungguh-sungguh dan gigih, mempunyai jati diri yang berani dan mampu mengambil resiko usaha namun tidak spekulatif, serta mengurangi sikap ketergantungan akan proteksi dan insentif pemerintah, yang mempunyai nalar bisnis dan semangat kewirausahaan yang tinggi.

2.      Untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, segenap potensi dan sumber daya ekonomi bangsa diberdayakan dengan cara mengoptimalisasikan nilai guna untuk seluas-luasnya bagi kepentingan seluruh rakyat. Dengan demikian pembangunan sosial ekonomi dijalankan di atas pertimbangan HAM dan memungkinkan seluruh rakyat mempunyai akses dan partisipasi yang proporsional di dalam proses pembangunan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.

3.      Pembangunan ekonomi yang senantiasa menyelaraskan alokasi sumber-sumber daya secara optimal dengan menyeimbangkan antara aspek pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang harmonis dan dinamis. Prinsip keseimbangan pada segala proses pembangunan harus diperhatikan terutama dalam keseimbangan kemampuan ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi, antara keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, sehingga dapat menghindari lompatan-lompatan dan kejutan-kejutan yang dapat mengganggu stabilitas pembangunan ekonomi.

4.      Membangun dan memperkuat fundamental ekonomi nasional untuk membangun ketahanan ekonomi nasional melalui pengembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah pedesaan dan perkotaan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku sektor swasta terutama oleh pengusaha rumah tangga, pedagang kaki lima, koperasi primer, pengusaha kecil dan menengah. Dengan demikian, salah satu sasaran strategis pembangunan ekonomi adalah untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di pedesaan (kecamatan).

5.      Untuk meningkatkan usaha nasional maka sasaran strategis pembangunan ekonomi adalah menggalang semangat koperasi diantara para pengusaha-pengusaha atau pelaku-pelaku ekonomi rakyat dalam bentuk pengembangan kemitraan, konsorsium pengusaha kecil menengah yang sinergistik, sesuai dengan bidang kompetensinya masing-masing.

6.      Memperluas etonomi keuangan daerah untuk mengurangi sentralisme kekuasaan pemerintahan pusat, menumbuhkan kemandirian daerah dan menciptakan keseimbangan kekuatan antar wilayah. Desentralisasi kebijakan ekonomi daerah dilaksanakan dalam berbagai bidang terutama yang menyangkut masalah mekanisme pembangunan daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi daerah, dan administrasi pembangunan.

7.      Keserasian pembangunan kawasan ekonomi daerah dan wilayah harus ditempuh dengan pendekatan dua arah yaitu dari bawah dan atas agar tercipta efek penumpahan dan bukan efek tetesan, sehingga efek berganda menjadi meluas dan mendalam, melalui peranan yang proaktif dari birokrasi daerah dan pelaku ekonomi didaerah.

8.      Pembangunan prasarana ekonomi harus diarahkan untuk menciptakan kawasan-kawasan pertumbuhan industri dan perdagangan yang dapat memberi peran yang lebih kondusif kepada pelaku-pelaku ekonomi di daerah, agar mampu dan siap untuk melakukan integrasi dengan perekonomian nasional dan internasional.

9.      Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang stabil maka pertumbuhan ekonomi daerah, wilayah dan sektoral harus direncanakan dan dilaksanakan secara serasi dan berimbang.

PRIORITAS PEMBANGUNAN EKONOMI KEBANGSAAN

prioritas pembangunan ekonomi ditetapkan berdasar situasi dan kondisi objektif perekonomian masyarakat saat ini yang membutuhkan proses pemulihan ekonomi yang lebih disebabkan oleh perencanaan ekonomi eksklusif dan parsial, implementasi kebijakan yang inkonsisten dan distortif, ketergantungan yang tinggi pada pembiayaan melalui hutang luar negeri serta beberapa aspek administrasi pembangunan tidak transparan dan akuntabel.

Dengan demikian kebijakan ekonomi harus dimulai dari perombakan total sistem, mekanisme, prosedur yang semuanya bersifat inovatif, proaktif, partisipatif, produktif, inklusif yang diarahkan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, kesenjangan tingkat pendapatan, kerendahan produktifitas dan kapasitas pembangunan ekonomi, masalah inefisiensi-pemborosan dan kebocoran, biaya ekonomi tinggi dan ketidakpercayaan luar negeri terhadap perekonomian nasional.

Pembangunan ekonomi harus dititik beratkan pada sektor pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam terutama yang menghasilkan pendapatan negara yang tinggi, pemanfaatan tenaga kerja yang tinggi serta yang berorientasi ekspor, termasuk dalam pembangunan pertanian tanaman pangan dan industri rumah tangga yang merupakan tulang punggung sumber pendapatan masyarakat pedesaan dan sub-perkotaan. Pembangunan ekonomi harus dititik beratkan dalam pembinaan institusi perekonomian disektor swasta dan koperasi khususnya di golongan usaha menengah dan kecil yang selanjutnya akan menjadi pendukung usaha skala nasional dan global. Upaya pengembalian kepercayaan luar negeri ditempuh dengan pemanfaatan dana bantuan, pinjaman lunak dan komersil secara produktif dan disertai upaya-upaya pembayaran kembali hutang dan beban bunganya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka sudah dapat disimpulkan beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam penyempurnaan demokrasi ekonomi menjadi demokrasi ekonomi baru atau keadilan ekonomi yang akan menjadi dasar dalam penataan kembali sistem ekonomi nasional. Selain asas utama yaitu asas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, demokrasi ekonomi baru sangat menekankan asas hukum : bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan nasional setiap warga negara dan penyelenggara negara harus taat pada hukum yang berintikan menegakkan keadilan dan membela yang benar, serta negara diwajibkan untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.

Demokrasi ekonomi baru menekankan asas adil da merata : bahwa pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata disemua lapisan masyarakat dan diseluruh wilayah tanah air dimana setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan berperan dan menikmati hasil-hasilnya secara adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan darma diberikan kepada bangsa dan negara.

Penekanan juga diberikan kepada asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam perikehidupan : bahwa dalam pembangunan nasional harus ada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat, materil dan spiritual, jiwa dan raga, individu dan masyarakat dan negara, pusat dan daerah serta antardaerah, kepentingan perikehidupan darat, laut, udara dan dirgantara serta kepentingan nasional dan internasional.

Penekanan terhadap ketiga asas tersebut perlu mewarnai pembentukan ciri-ciri demokrasi ekonomi baru, sebagaimana yang telah dikemukakan pada contoh sebelumnya. Ciri-ciri demokrasi ekonomi baru harus dapat dijabarkan dalam penyusunan kebijakan operasional nantinya. 

Sumber :
- Dr. Yusuf Faishal,SISTEM EKONOMI PASAR BERKEADILAN: Berdasar Demokrasi Ekonomi Baru,yayasan Bintang Sembilan,Jakarta,1999.